PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIST TERHADAP AL QUR'AN -->

Header Menu


PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIST TERHADAP AL QUR'AN

10 November 2022

 Definisi Hadists

Kata hadits berasal dari  kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadits selama ini.
Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).

Ilmu hadis : ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan, atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw,  perbuatan itu tidak dilarang olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in.

Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.

Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :

1.      Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)

Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun sesudahnya”. Karena para muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.

2.      Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)

Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an , berupa perkataan ,perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau , yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah karena bersangkut-paut dengan hukum islam. Ushuliyyun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam Al-Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup (ibid).

3.      Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)

Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail , mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.(ibid)

Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni:

a.       Imam Bukhari

b.      Imam Muslim

c.       Imam Abu Daud

d.      Imam Turmudzi

e.       Imam Ahmad

f.       Imam Nasa'i

g.      Imam Ibnu Majah.

Pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut brita yang marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.

B.   Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam

Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut.

Banyak ayat Al-Qur’an  dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

1.      Dalil Al-Qur’an

Artinya:

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (Qs. Ali Imran:179)

Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Qs. AnNisa’:136)

Dalam Qs. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang pada Qs. An-Nisa’, Allah menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

2.      Dalil Al-Hadis

Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك)

Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)

Dalam hadis lain Rasul bersabda:

...فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الرراشدين المهديين تمسكوا بها وعضوا عليها...(رواه ابو داود و ابن ماجه)

Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.

Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.

3.      Kesepakatan Ulama (Ijma’)

Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:

·         Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”

·         Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.

4.      Sesuai Dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah swt., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.

Siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.

1.      Manhaj Komprehensif

Manhaj Islam tersebut mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia, dalam dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam”-nya.

Yang dimaksud dengan “panjang” di sini adalah rentang waktu secara vertical, yang meliputi kehidupan manusia, sejak saat kelahiran sampai kematiannya, bahwa sejak masa kehidupannya sebagai janin sampai setelah kematiannya.

Adapun yang dimaksud dengan “lebar” di sini adalah rentangan horizontal yang meliputi seluruh aspek kehidupan, sedemikian sehingga Petunjuk Nabi (hidayah nabawiyyah) senantiasa bersamanya; di rumah, di pasar, di masjid, di jalanan, dalam pekerjaannya, dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dan segenap manusia sekitarnya, yang Muslim maupun yang non-Muslim, bahkan dengan semua manusia, hewan dan benda mati.

Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam” disini adalah dimensi yang berkaitan dengan “kedalaman” kehidupan manusia, yaitu yang mencangkup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir dan batin, serta ucapan perbuatan dan naitnya.

2.      Manhaj yang Seimbang

Ciri lain dari manhaj ini adalah “keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara perumpamaan dan kenyataan, antara teori dan praktik, antara alam yang gaib dan yang kasatmata, anatara kebebasan dan tanggung jawab, antara perorangan dan kelompok, antara ittiba (mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi saw.) dan ibtida’ (menciptakan sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dalam sunnah beliau), dan seterusnya.

Dengan kata lain, ia merupakan manhaj yang bersifat “tengah-tengah” bagi umat yang berada di “tengah-tengah” (yakni umat Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, Surah Al Baqarah, ayat 143).

Karena itu, setiap kali Nabi saw. melihat para sahabatnya condong kea rah “berlebihan” atau “berkurang” (dalam berbagai aspek kehidupan mereka), maka beliau segera mengembalikan mereka dengan kuat kea rah tengah (moderasi), sambil memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam melaksanakan sesuatu atau dalam mengembalikannya).

Itulah sebabnya beliau menyatakan ketidaksenangnya kepada ketiga orang yang menanyakan tentang ibadah beliau, lalu rupa-rupanya mereka menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan keinginan keras mereka untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka hendak berpuasa terus-menerus setiap hari (shiyam ad dahr). Seorang lagi hendak qiyam al lailatau begadang sepanjang malam untuk shalat. Dan yang ketiga hendak menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka ketika mendengar ucapan mereka itu, Nabi saw. bersabda yang artinya:

“Sungguh aku ini adalah yang paling takut, di antara kamu, kepada Allah, dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi aku adakalanya berpuasa dan tidak berpuasa, bershalat di malam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang siapa menjauh dari sunnah-ku, ia tidak termasuk golonganku.”

Dan tatkala melihat Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-qiyamullail dan ber-tilawat Al Qur’an, Nabi saw. memerintahkannya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang artinya:

“Sungguh badanmu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk tidur), istrimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.”

3.      Manhaj Memudahkan

Di antara ciri-ciri lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Seperti juga di antara sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu – Taurat dan Injil –

“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. ”(QS : Al A’raf : 157).

Sifat seperti itulah yang menyebabkan tidak adanya sesuatu dalamsunnah Nabi ini yang menyulitkan manusia dalam agama mereka, atau memberati mereka dalam dunia mereka. Bahkan beliau pernah bersabda tentang dirinya sendiri, yang artinya :

“Sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh manusia).”

Ucapan ini merupakan penafsiran bagi firman Allah SWT:

“… Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiya: 107).

Dan beliau telah bersabda pula, yang artinya:

“sesungguhnya Allah tidak mengutusmu sebagai seorang yang mempersulit atau mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi akudiutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.”

Dan ketika mengutuh Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mareka berdua dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat, yang artinya:

“permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah kalian berdua untuk senantiasa bersepakat dan jangan bertengkar.”

Pernah pula beliau menujukan sabdanya kepada umatnya, yang artinya:

“permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh!”

Dan tentang misi yang dibawanya, beliau berkata, yang artinya:

“sesungguhnya aku ini diutus dengan al hanifiyyah as samhah (yakni jalan hidup yang lurus dan lapang).”

C.   Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

1.      Bayan at-Taqrir

Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang artinya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suat contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:

رأئتم الهللال فصوموا وإذا رأىتموه فأفطروا (رواه مسلم)

Artinya: Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.

Hadis di atas datang men-taqrir ayat al-qur’an di bawah ini:

Artinya: ...Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...(Qs. Al-Baqarah:185)

2.      Bayan al-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang contoh ayat-ayat yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas, hudud, dsb. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebanya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Rasulullah saw, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Contoh fungsi hadis sebagai bayan al-tafsir yaitu:

صلوا كما رأىتمونى أصلى (رواه البخارى)

Artinya: Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Bukhori)

Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:

Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang

Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah saw:

أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف

Artinya: Rasulullah saw, didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.

Hadis ini men-taqyid Qs. Al-Maidah:38 yang berbunyi

Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. Al-Maidah:38)

3.      Bayan at-Tasyri’

Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya  (ashl) saja. Hadis Rasul saw, dalam segala bentuknya  (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suat kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Hadis-hadis Rasul saw, yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

أن رسول الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أولا صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر او أنثى من المسمين (رواه مسلم)

Artinya: Bahwasannya Rasul saw, telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim. (HR. Muslim)

Hadis Rasul saw, yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadis-hadis lain.

4.      Bayan al-Nasakh

Kata nasikh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama’ mengartikan bayan al-Nasikh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Jadi intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang akhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama  syarat ketentuan adanya nasikh dan mansukh. Pada akhirnya, hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-Qur’an dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ ialah:

لا وصية لوارث                      

Artinya: tidak ada wasiat bagi ahli waris.

Hadis ini menurut mereka menasikhk isi firman Allah swt;

Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Most Popular